Kota di Jepang Gugat Warganya Sendiri Gara-gara Komplain Berlebihan Selama 5 Tahun
Dalam sebuah kasus yang tidak biasa dan jarang terjadi, sebuah kota di Jepang memutuskan untuk mengambil langkah hukum ekstrem terhadap salah satu warganya sendiri. Kota Mihama di Prefektur Aichi menghadapi situasi unik ketika seorang pria berusia 60-an tahun melakukan komplain berlebihan kepada kantor pemerintahan kota selama lima tahun penuh tanpa henti.
Gugatan kota di Jepang terhadap warganya sendiri ini menjadi perhatian publik karena menunjukkan betapa seriusnya masalah customer harassment yang kini melanda negara tersebut.
Kasus ini bermula pada tahun 2020 ketika pria tersebut menghubungi kantor kota mengenai masalah yang sebenarnya bukan kewenangan pemerintah kota.
Dari berbagai laporan yang ada, tersangka menginginkan subsidi dari kota untuk meningkatkan ketahanan gempa bangunan di propertinya. Namun, karena bangunannya tidak memiliki signifikansi budaya bagi kota, permintaannya tidak memenuhi syarat untuk mendapat subsidi tersebut.
Teror Harian yang Berlangsung Lima Tahun
Ketika pihak kota menjelaskan bahwa mereka tidak bisa membantu, respons pria tersebut sangat tidak wajar. Alih-alih menerima keputusan dan melanjutkan hidup, ia justru memulai kampanye pelecehan verbal yang berlangsung tanpa henti selama lima tahun berikutnya.
Pria ini menelepon dan mengunjungi kantor kota hampir setiap hari. Interaksinya dengan staf kantor kota cenderung melibatkan tuntutan untuk berbicara dengan supervisor, hinaan dengan sebutan "bodoh", dan bahkan permintaan yang lebih tidak rasional seperti menuntut untuk berbicara dengan pegawai wanita daripada pria.
Selain tekanan mental yang luar biasa pada staf, pria ini juga kadang memonopoli waktu pekerja hingga satu jam penuh untuk memarahi dan berdebat dengan mereka. Dalam tujuh bulan saja, dari April hingga November tahun ini, ia dilaporkan telah membuat dan mengirim lebih dari 800 panggilan telepon dan surat ke hampir setiap departemen di kantor kota. Bayangkan, itu rata-rata hampir 4 panggilan atau surat per hari!
Situasi ini tidak hanya mengganggu operasional kantor pemerintahan, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang sangat tidak sehat bagi para pegawai yang menjadi target kemarahan pria tersebut.
Langkah Hukum yang Belum Ada Presedennya
Merasa situasi ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut, Mihama mencoba mengambil tindakan hukum. Namun, mereka menghadapi masalah besar: customer harassment adalah masalah yang berkembang begitu cepat sehingga hukum belum benar-benar mengatur dengan jelas bagaimana mendefinisikannya.
Beberapa tempat seperti Tokyo telah memberlakukan peraturan daerah, tetapi mereka cenderung fokus pada perusahaan yang mengambil langkah untuk melindungi karyawan mereka daripada menghukum pelaku pelecehan.
Kota Kuwana di Prefektur Mie memang memasukkan penalti dalam peraturannya, tetapi hanya berupa peringatan tertulis diikuti dengan pengumuman nama pelaku ke publik.
Oleh karena itu, Mihama memutuskan untuk mengambil masalah ke tangan mereka sendiri. Mereka menyusun resolusi yang mengizinkan kota untuk menggugat orang-orang yang melakukan komplain berlebihan. Mosi tersebut disahkan dengan suara bulat oleh dewan kota.
Mihama kemudian menyusun gugatan senilai empat juta yen (sekitar 408 juta rupiah), jumlah yang didasarkan pada estimasi gaji karyawan yang terbuang akibat gangguan kerja yang ditimbulkan pria tersebut.
Reaksi Pelaku dan Respons Netizen
Yang menarik, begitu kabar gugatan tersebar, pria itu tiba-tiba menghentikan semua komunikasinya dengan kantor kota. Kantor Kota Mihama menyatakan bahwa mereka tidak akan melanjutkan gugatan jika perilakunya membaik.
Namun, respons netizen Jepang terhadap gugatan kota di Jepang ini cukup keras. Banyak yang merasa kota terlalu lunak terhadap pria tersebut dan berharap mereka tetap melanjutkan gugatan untuk memberi contoh. Komentar-komentar yang muncul antara lain:
- "Itu sepertinya sudah masuk kategori tindakan kriminal. Mereka harus menangkapnya juga."
- "Apa yang dia lakukan sudah melampaui sekadar pelecehan."
- "Kerusakannya sudah terjadi. Mereka tidak boleh menahan diri dan harus menggugat orang itu."
- "Orang-orang seperti ini hanya penindas. Mereka hanya berteriak pada orang yang tidak bisa berteriak balik."
- "Gugat dia, dan buat preseden hukum."
Beberapa juga menyarankan bahwa tindakan pria tersebut sudah masuk kategori penghalangan bisnis dan seharusnya bisa dilaporkan ke polisi.
Dilema Hukum Customer Harassment di Jepang
Kasus ini mengungkap dilema yang dihadapi banyak kota dan perusahaan di Jepang. Sama seperti perusahaan yang enggan mengambil tindakan terhadap pelanggan mereka sendiri, Mihama mungkin tidak ingin dikenal sebagai kota yang menggugat warganya sendiri karena komplain.
Meskipun pria ini jelas-jelas bersalah, tindakan gugatan membuka jalan yang licin dan menimbulkan pertanyaan: di mana batas "komplain berlebihan" itu ditarik? Ambiguitas seperti inilah yang membuat customer harassment menjadi masalah sulit untuk ditangani di Jepang, baik secara hukum maupun praktis.
Namun, kasus ini juga menjadi pembelajaran penting bahwa hak untuk komplain tidak berarti bebas melecehkan pekerja layanan publik selama bertahun-tahun. Keseimbangan antara melindungi hak warga untuk menyuarakan keluhan dan melindungi pegawai dari pelecehan verbal harus ditemukan.
Source: Sora News

Post a Comment for "Kota di Jepang Gugat Warganya Sendiri Gara-gara Komplain Berlebihan Selama 5 Tahun"